Pages

Monday, April 19, 2010

Sabar itu susah

            Awalnya gua kira, gua orang yang sangat perhatian. Tetapi perhatian gua disalah artikan oleh orang-orang disekitar gua. Dimulai dari rumah, rumah sendiri bukanlah area yang nyaman buat gua. Gua punya abang, bedanya 4 tahun dari gua. Setelah lulus SMA dia memang bekerja, tapi hanya sebentar dan dia meminta kuliah. Karena di adat batak lelaki adalah tumpuan keluarga, makanya orang tua gua pun mendukung habis-habisan. Alhasil gua dituntut memberikan pengertian meskipun tidak secara langsung. Gua sadar bahwa orang tua gua tidak bisa menyekolahkan gua ke jenjang yang lebih tinggi yaitu perkuliahan. Dan gua terima itu dengan penuh pengertian, dan berharap bahwa abang gua bisa menjadi orang yang lebih baik. Kenyataannya sangatlah pahit, sudah hampir 4 tahun dia kuliah padahal dia ambil akademi dan itu pun belum lulus. Diperparah dengan penipuan yang dia lakukan kepada orang tua gua. Ayah gua bekerja berpuluh-puluh tahun untuk itu, dan dia dengan seenaknya menghabiskan penantian keluarga gua atas hal itu.

                Kini rencana untuk pindah ke tempat yang lebih baik pun harus kita pendam. Tapi yang lebih memahitkan adalah, pengorbanan gua selama ini. Ini ga pantas gua dapatkan, gua masih 17 tahun saat terjun didunia pekerjaan. Seharusnya gua sedang berkuliah, dan sepulang kuliah gua jalan sama teman-teman gua, dan ngerumpiin orang lain, atau sedang sibuk berkutat dengan diktat dan skripsi. Tapi apa nyatanya, gua terkurung di meja kerja dengan setumpuk kerjaan yang tidak ada habisnya. Apa ini adil buat gua? Dia ga pernah ngejawab. Ya sudah, gua pun harus berlindung di balik tameng "takdir". Setidaknya gua bisa memuaskan kebencian gua atas "takdir" ini dengan berkata kepada abang gua "asal lo tau, gua benci liat muka lu. Gua benci sama lu, dan gua benci ada manusia ga berguna kaya lo". Dan sampai sekarang gua tidak berbicara dengan dia.

             Tempat kedua adalah tempat kerja. Setiap hari gua datang dan kebanyakan waktu gua habiskan disini. Semut di seberang lautan kelihatan, Gajah di pelupuk mata tidak kelihatan barangkali peribahasa yang tepat menggambarkan kondisi gua sekarang. Gua setiap hari didepan mata dia dengan kerjaan yang makin hari makin tambah. Tapi dia buta. Tidak pernah sekalipun dia memikirkan saya, yang diotaknya adalah tambah terus pasukannya supaya target tercapai. Dan sedihnya itu memberatkan gua, setiap senin gua harus pulang larut untuk menyelesaikan ini semua. Dan dia lagi-lagi buta tentang ini. Jika memang punya mata tidak digunakan, donorin ajah lah sama yang lebih berotak untuk menggunakannya secara maksimal.

              Dan hal ini diperparah dengan perhatian dia ke bawahan dia yang lainnya. Semua fasilitas lengkap, semua ada penolongnya, semua ada kelebihannya. Tapi gua, pekerjaan ini sudah diluar batas gua. Tapi dia diam, dan tidak peduli. Hal ini sangat menyakitkan gua, gua selalu mengerjakan pekerjaan dengan baik dan tepat waktu. Dia sangat tertolong dengan adanya gua, bukannya gua ge er. Staff yang lain juga berpikiran sama. Apa sih salah gua, kenapa sih mencari penolong gua yang sebenarnya sudah dianggarkan sepertinya sangat berat buat dia!!! Coba deh sekali-kali kerjakan kerjaan gua, supaya lo tau gimana rasanya.

             Gua pernah bertanya tentang remunerasi. Meskipun gua tahu jawaban atas itu, tapi maksud gua tunjukkan sedikit simpati lu sama gua. Dan gua pun berkata baik dengan dia, gua juga coba memahami dia bahwa dengan bertambahnya orang maka ini pun berefek ke dia. Tapi setelah gua pikir, pengertian gua adalah hal yang terbodoh yang pernah gua lakuin. Dia mendapatkan fasilitasnya semua orang ada ditempat masing-masing, tapi yang tersisa hanya gua dan setumpuk kerjaan yang tidak pernah usai.

            Gua bosan memberi pengertian, gua bosan di tipu seperti ini, gua bosan dengan semua ini. Ini bukanlah gua, kenapa harus ada kebutuhan yang mengikat sehingga gua harus bertahan di tempat kerja gua dengan atasan yang tidak memperhatikan gua hanya demi sejumlah uang yang masuk ke rekening gua setiap bulan???? Dan kenapa gua harus bertahan dikala ada manusia yang sangat menjijikan ada di rumah gua sendiri, area yang gua anggap seharusnya tempat gua melepas semua penat???? kalau seperti ini terus mungkin gua akan terkena kanker dan tumor di masa depan, karena ada riset yang bilang bahwa manusia yang memendam banyak perasaan beresiko besar kepada 2 penyakit itu.

               Gua tidak bisa berbuat apa-apa, gua terperangkap di sini. Gua akan putar otak, jungkir balik untuk menikmati ini. Karena gua tau, gua ga bisa keluar dari sini. Hal pertama yang akan gua lakukan adalah berlindung dibalik kata "takdir". Karena meskipun dia hanya terdiri dari 6 huruf, tapi dia memberikan kenyamanan walaupun sedikit.

3 comments:

  1. percaya kan ci kalo di atas langit ada langit. Nah, sama juga.. di bawah kita, ada yang lebih bawah lagi, dibawahnya ada yang lebih bawah lagi, lebih bawah lagi... :)

    ReplyDelete
  2. "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"
    banyak bersyukur mbakyu. :)

    ReplyDelete
  3. saya harus lebih bersyukur. Ga usah perhatiin mereka, perhatiin ajah orang yang punya empati ke saya.

    ReplyDelete